Kalimantan Barat: Masjid Tertua dan Bersejarah Tinggi di Pontianak
Foto: thetanjungpuratimes.com
SUATU SIANG saya berkesempatan menjejakkan kaki untuk shalat Dhuhur dan
dijamak dengan Ashar di Masjid Jami’ Pontianak. Masjid yang didominasi bahan
kayu belian ini juga popular dengan sebutan Masjid Sultan Syarif Abdurrahman. Dan, ternyata, masjid berkapasitas sekitar 1.500 jamaah yang berada di kawasan
Dalam Bugis, Pontianak Timur, ini merupakan satu
dari dua bangunan yang menjadi pertanda berdirinya Kota Pontianak (Kalimantan Barat)
pada 1771 Masehi. Satu bangunan
bersejarah lainnya adalah Keraton
Kadriyah.
Pendiri masjid yang sekaligus pendiri Kota Pontianak
adalah Syarif Abdurrahman Alkadrie. Ia seorang
keturunan Arab, anak Al-Habib Husein, seorang penyebar agama Islam dari Jawa. Al-Habib
Husein datang ke Kerajaan Matan tahun 1733 Masehi. Al-Habib
Husein lalu menikah dengan puteri Raja Matan (kini Kabupaten Ketapang) Sultan
Kamaludin, yang bernama Nyai Tua. Dari pernikahan Al-Habib Husein dengan Nyai
Tua itu lahirlah Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang
meneruskan jejak ayahnya menyiarkan agama Islam.
Syarif Abdurrahman melakukan perjalanan dengan menyusuri Sungai Kapuas.
Ikut dalam rombongannya sejumlah orang yang menumpang 14 buah perahu. Rombongan
Abdurrahman sampai di muara persimpangan Sungai Kapuas
dan Sungai Landak pada hari Rabu, 23 Oktober 1771, atau 14
Rajab 1185 Hijriyah. Di situ, mereka membabat hutan di dekat muara itu untuk
dijadikan daerah permukiman baru. Abdurrahman mendirikan sebuah kerajaan baru
Pontianak. Ia pun membangun masjid dan istana. Abdurrahman dikukuhkan menjadi
Sultan Pontianak pada 1778.
Masjid yang dibangun aslinya beratap rumbia dan konstruksinya
dari kayu. Abdurrahman meninggal tahun 1808. Ia memiliki putera
bernama Syarif Usman. Saat ayahnya meninggal, Syarif Usman masih kanak-kanak.
Maka pemerintahan sementara dipegang oleh adik Abdurrahman, yakni Syarif Kasim.
Setelah Syarif Usman dewasa, ia menggantikan pamannya sebagai Sultan Pontianak
(1822-1855). Pembangunan masjid
kemudian dilanjutkan Syarif Usman, dan dinamakan sebagai Masjid Syarif Abdurrahman,
sebagai penghormatan dan untuk mengenang jasa-jasa ayahnya.
Pada sisi kiri pintu masuk masjid, terdapat pasar ikan
tradisional. Di belakangnya merupakan permukiman padat penduduk Kampung Beting,
Kelurahan Dalam Bugis. Sementara
itu, di bagian depan masjid, yang juga menghadap ke barat, terbentang Sungai Kapuas,
sungai terpanjang di Indonesia.
Masjid Sultan Syarif Abdurrahman memiliki mimbar tempat khutbah
yang cukup unik. Sekilas bentuknya mirip geladak kapal. Pada sisi kiri dan
kanan mimbar terdapat kaligrafi yang ditulis pada media kayu plafon. Dan, atapnya
yang semula terbuat dari rumbia, kini menggunakan sirap, potongan kayu belian
berukuran tipis. Atap masjid memiliki tingkat empat, pada tingkat kedua,
terdapat jendela-jendela kaca berukuran kecil. Sementara di bagian paling atas,
atapnya mirip kuncup bunga atau stupa.
Bagaimana dengan Keraton yang dibangun pada waktu hampir
bersamaan dengan Masjid Syarif Abdurrahman? Saat ini kondisinya masih bagus. Didominasi
warna kuning. Menggunakan kayu belian, kayu asli Kalimatan yang terkenal sangat
kuat. Sebuah Keraton yang merupakan simbol dari awal kelahiran Kota Pontianak. Tempat
ini juga menyimpan salah satu koleksi unik, yaitu sebuah Al-Qur’an yang ditulis
tangan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie.
Foto: winnymarlina.com
Bila kita ada kesempatan datang di Pontianak, usahakan untuk
shalat di Masjid Jami’ Pontianak Syarif Abdurrahman, dan pergi menyimak Keraton
Kadriyah.
Ada baiknya pula bila kita menikmati empat masjid lainnya di
Kota Pontianak, yaitu Masjid At-Taqwa (dibangun tahun 1950) yang terletak di Kelurahan
Siantan Tengah (Pontianak Utara), kemudian Masjid AL-Falah (1961) berdiri megah
di daerah Sungai Jawi Dalam (Pontianak Barat), Masjid Raya Mujahidin (1978) di
Jalan A Yani (Pontianak Selatan), dan Masjid Al-Hikmah (1987) di Kelurahan Sungai
Jawi (Pontianak Kota). ***
Komentar
Posting Komentar