JAWA TIMUR (Trowulan): Masjid Baitul Muttaqin, Troloyo Mojokerto
SEBUAH “KETERPENCILAN” di area pusat kekuasaan Kerajaan Majapahit, Sang Penguasa Nusantara kala itu. Di situ, berdiri sebuah Masjid Kecil, namanya Baitul Muttaqin, berada di bagian pintu belakang kompleks pemakaman para sesepuh Walisongo, di Dusun Sidodadi, Desa Sentono Rejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Luas Masjid hanya sekitar 120 meter persegi.
Trowulan adalah salah satu kawasan bekas ibukota Kerajaan Majapahit. Terletak di pinggir jalur utama Surabaya- Solo-Yogyakarta, tepatnya di antara Mojokerto-Jombang. Dari Mojokero ke Trowulan berjarak 12 kilometer, dari Jombang 20 kilometer, dan dari Surabaya 65 kilometer.
Di Mojokerto dan Trowulan khususnya, tidak hanya terkenal dengan peninggalan Kerajaan Majapahit. Di sini juga ada sebuah kompleks makam Islam kuno sejak abad ke-14 Masehi, di mana terdapat makam Syekh Jamaluddin Al-Husain Al-Akbar alias Sayyid Hussein Jumadil Kubro. Dia adalah nenek moyang Wali Songo.
Syekh Jumadil Kubro adalah putera Ahmad Syah Jalaluddin, bangsawan dari Nasrabad di India. Kakek buyutnya adalah Muhammad Shahib Mirbath dari Hadramaut yang bergaris keturunan ke Imam Jafar Shadiq, keturunan generasi keenam dari Nabi Muhammad SAW. Perjalanan syiar Islam Syekh Jumadil Kubro dilakukan hingga Maroko, Samarqand (Uzbekistan), Kelantan (Malaysia), Jawa dan Gowa (Sulawesi Selatan).
Ketika di Samarqand, dia menikah dengan putri Uzbekistan dan lahir Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandiy. Ibrahim Zainuddin ikut berdakwah ke Indo China, lalu menikah dengan puteri Champa dan lahirlah cucu Jumadil Kubro yaitu Sunan Ampel, ayah dari Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Cucu satu lagi dari puteri Champa adalah Maulana Ishaq, ayah dari Sunan Giri, dan kakek dari Sunan Kudus.
Ketika berada di Kelantan, Jumadil Kubro menikah juga dengan perempuan setempat. Cicitnya adalah Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati. Sementara Sunan Muria dan ayahnya Sunan Kalijaga merupakan famili, keturunan dari adik Jumadil Kubro. Keturunan Jumadil Kubro yang tidak berdakwah, menjadi raja-raja Kesultanan di Asia Tenggara dari Patani, Malaysia, Indonesia sampai Mindanao.
Pendek kata, Kompleks Makam Troloyo merupakan saksi penting betapa Islam telah dipeluk oleh sebagian pejabat dan abdi dalem serta warga masyarakat sejak awal Kemaharajaan Majapahit yang beragama Hindu-Buddha. Hal itu terus berkembang hingga mencapai puncaknya pada akhir abad ke-15 saat berdirinya Kerajaan Islam Bintoro Demak.
Begitu bernilai historis tinggi, wajar bila setiap pekan banyak pengunjung datang berziarah ke Kompleks Makam Troloyo. Ketika sedang berziarah, lantas kumandang adzan bergema, mereka bisa ke Masjid Baitul Muttaqin yang berada di sudut area belakang makam. Di situ, mereka berbaur dengan penduduk setempat yang tinggal di luar pagar Kompleks Makam untuk bersama-sama menunaikan shalat berjamaah. Termasuk kami yang beberapa waktu lalu berkunjung ke Troloyo. *** (YW).
Komentar
Posting Komentar